Wednesday, April 6, 2011

CERPEN - SANG PENCURI MAWAR

Kring… kring… kring…
Suara jam beker berbunyi tepat menunjukan pukul 04.00 WIB yang berada diatas meja kecil di samping tempat tidurnya. Dinginnya angin subuh masih menusuk tulang saat jendela kamar terbuka. Hal itu tidak membangkitkan semangat setelah seminggu yang lalu ia ditinggal pergi ibunya. Ayahnya yang meninggal saat kelulusan 2 tahun yang lalu, hal itu menambah kesedihan dalam hidupnya. Seorang kakak satu-satunya tak ada peduli sedikit pun akan musibah yang dialami keluarganya. Kini hanya rumah sederhana dan sepetak taman bunga serta kios bunga di depan rumah yang di wariskan kedua orang tuanya itu.
            Seperti hari-hari kemarin ia tetap menjalani kehidupan seperti biasanya. Walaupun tanpa suara cerewet ibu tercinta, tanpa perintah yang kadang membosankannya, juga tanpa. . . “Ah, aku tak boleh terus meratapinya seperti ini. Toh ibu sudah tenang di alam sana, tanpa harus merasa kesakitan seperti halnya orang yang sakit paru-paru itu” bisiknya dalam hati. Kemudian ia melangkah pergi mengambil iair wudlu.
            “Mawar! Cepat buatkan aku sarapan!” teriak kakaknya dari kamar sebelah. Hal itu mengagetkan Mawar _begitu ia sering disapa_ ketika ia terlamun dalam doanya setelah tadi salat subuh, cepat ia bangun dan mengenakan jilbab yang biasa ia pakai.
            “Iya, Kak! Sebentar, saya buatkan nasi goreng saja. Persediaan beras kita semakin berkurang!” Suara lembutnya berucap.
            Sebagai seoarang kakak laki-laki, ia tak bisa diandalkan. Jangankan untuk membiayai kehidupan adiknya, untuk diri sendiri saja dia tak mampu. Apa yang bisa di andalkan dari laki-laki pengangguran seperti Ridwan. Sudah hampir setahun ia berpisah dengan istri yang memberinya 1 orang anak perempuan. Karena kemalasannya itulah istrinya tidak mendapatkan nafkah yang cukup

***
            Gadis yang menyelesaikan pendidikannya sampai Sakolah Menengah Atas ini, tak kalah semangatnya dengan teman sebayanya yang melanjutkan kuliah. Dia cukup pintar, rajin dan kreatif sampai mendapatkan kesempatan mendapatkan beasiswa di salah satu Universitas elite di daerah tempat tinggalnya. Namun, karena ketidakadilan kalangan atas ia pun gagal menjadi mahasiswi di Universitas itu. Sejak saat itu, ia hanya pergi dari rumah satu dan rumah lain untuk menjadi guru les Bahasa. Ia juga membantu ibunya bejualan di kios bunga. Tapi itu dulu. Kini hanya kios peninggalan itulah tempat ia menyambung hidup. Tak ada waktu untuk pergi kesana-sini _untuk mengajar_.
            “Untuk membuat karya tulis seperti itu, kau harus sering mambaca! Akan banyak inspirasi yang di dapatkan dalam pikiran hingga dapat tertuang dalam tulisan yang akan kau buat nanti.” Jelasnya pada Sandra, _tetangganya yang 3 tahun lebih muda darinya_.
            “Saya banyak belajar dari kakak. Penjelasan dari kakak cukup memberi pencerahan pada saya” kata Sandra.”Terima kasih, Kak!”
Sandra sering menemani Mawar berjualan di kios yang memang dekat rumahnya. Kios itu di pinggir jalan, tak jauh dari Tempat Pemakaman Umum yang tak jarang orang membeli bunga disana. Cukup strategis.
“Mbak! Tolong bunga anggreknya” kata salah satu pembeli.
“Ini bagus, Mas! Masih segar, baru saya petik dari taman” paparnya.
“Berapa?”
“75.000 rupiah saja!”
“Ini uangnya. Ambil saja kembaliannya!” sambil memberikan uang Rp 100.000,-
“Ohh, terima kasih banyak Mas!”
Sore harinya. Mawar pergi ke pemakaman, yang bernisan kayu tertancap di atas pusaran ibunya. Dengan setangkai mawar merah yang ia letakan, dan ia ganti tiap sore.

***
            Sabtu pagi. Tepat satu bulan setelah kepergian ibunya, ia pergi ketaman. Menyirami dan memberi pupuk adalah kegiatan yang rutin ia lakukan disana. Tampak setangkai mawar merah merekah indah di tengah bunga-bunga yang lain. Warnanya cukup menghibur hati, membangkitkan semangat bagi siapa saja yang melihatnya. Wangi tak kalah menggiurkan, terbawa semilir angin yang sejuk di pagi yang cerah itu. Langkah demi langkah ia mendekati mawar itu. Tak terasa air mata pun membasahi pipinya, seperti embun di mawar itu. Satu bulan ia tunggu, bibit mawar dari ibunya kini menjelma menjadi bunga yang begitu indah.
            Di sebrang jalan. Antara muda-mudi tengah terjadi pertengkaran yang cukup menarik perhatian bagi orang yang lalu-lalang di trotoar. Kejadian itu mengagetkan Mawar yang terpaku dihadapan bunga mawar.
            “Aduh lupa!” Ucap Mawar “Aku sedang memasak air.”
Kemudian ia pergii ke dapur, berlari kecil.
            Sementara itu di depan kios Mawar, terjadi percakapan.
            “Tunggu, Ririn! Aku mencintaimu. Jangan hanya karena lelaki jalanan itu kita bertengkar seperti ini” jelas lelaki itu.
            “Itu menurutmu, Derry! Aku lebih berharga bersamanya. Dia memperlakukanku secara baik. Tak sepertimu.” Balas perempuan yang cantik itu. Dengan rok mini dan gaun merah muda menambah keindahan bagi kaum Adam yang melihatnya.
            “Tapi. . .”
            “Sudahlah. Anggap saja hubungan kita telah berakhir” sambil melangkah pergi, dan melepaskan tangan Derry yang sejak tadi menggenggamnya.     “Ririn!”
Dengan kesal ia tiba-tiba melihat ada setangkai bunga yang begitu indah di taman kecil pinggir trotoar. Tanpa pikir panjang, kemudian ia petik dengan harapan dapat merayu pacar yang meninggalkannya itu.
            Ketika itu, Mawar berjalan di depan pintu untuk membuka kiosnya.
            “Hey. . .! Jangan kau petik bunga itu!”
Apa mau dikata. Lelaki itu langsung lari. Menyesal.
            “Kenapa harus mawar itu?” desah Mawar “Kenapa?”
***
            Entah kenapa lelaki tadi kembali.
            Melihat perempuan berjilbab sedang menangis sendiri di kios bunga, ia pun berhenti dan berkata. “Kenapa gadis cantik sepertimu menagis sendiri disini?”
Mawar pun berhenti menangis.
            “Saya. . .” sambil menghapus air mata dan melihat siapa yang menegurnya. “Kamu?? Kamu yang tadi memetik bunga saya, kan?”
Lelaki itu kaget.
“Ohh, itu tanaman kamu?? Biar saya ganti. Berapa?”
            “Bunga itu tak ternilai harganya! Semua uangmu takkan cukup mengganti bunga itu.” Tanpa henti ia menangis.
            “hmm, terserah apa katamu! Saya rasa ini cukup untuk membeli lagi bibit baru.” Menyimpan sajumlah uang seratus ribuan di atas meja kios.
            “Sebaiknya kamu ambil saja uang itu. Saya tidak membutuhkannya.”
            “What ever!” Berlalu tanpa pamit menuju sedan hitam di seberang jalan.
            “Kamu tidak akan mengerti arti penting bunga mawar itu. Bunga pertama dari bibit yang saya tanam bersama almarhumah ibu.”
Dari rumah terdenger suara kakaknya memanggil.
            “Mawar!”
            “Ia, Kak! Sebentar!”
            “Tolong belikan kopi di warung depan.”
            “Kenapa tidak beli sendiri? Toh tidak ada kerjaan kan?”
            “Jangan ceramah seperti ibu! Mau, kamu durhaka pada kakakmu ini?”
“Percuma saja bicara pada Kakak. Takkan ia dengar!”
            Malam kian larut, hanya suara mesin kendaraan yang lalu-lintas di jalan raya depan rumah. Mawar terbangun. Ia pergi salat Tahajud.
            Ia terbangun oleh kokok ayam jantan tetangga, setelah tertidur selepas salat tadi malam.

***
            Sejak kejadian minggu kemarin, Derry sering datang ke kios Mawar. Hanya sekedar membeli setangkai mawar merah. Tak terasa kedekatan itu pun berlanjut hari demi hari. Derry seorang anak pengusaha besar di kotanya, berubah drastis seperti yang dikatakan ibunya yang pernah datang ke kios Mawar setelah beberapa hari membuntuti Derry.
Ditengah tahajudnya, Mawar meneteskan air mata. Entah karena apa. “Mungkin karena kehadiaran lelaki itu!” ujarnya “Ah, tak mungkin secepat ini”
Kau telah mencuri hatiku
Seperti dulu,
Dengan mudah kau petik mawar
Kini aku masuk perangkapmu
Terjaring perasaan yang membekukan kalbu
Singkat. . . Tepat di tengah jantung Mawar!!
           
Dua tahun kemudian. . .
“Kau gadis yang sempurna yang pernah ku kenal.”
            “Tak ada manusia yang sempurna. Semuanya sama!”
            “Tapi taukah kau? Hanya orang yang jatuh cintalah yang melihat suatu kesempurnaan pada lawan jenisnya!”
            Mawar hanya terpaku. Mencermati perkataan Derry barusan. “Jatuh cinta?” bisiknya dalam hati. “Mungkinkah. . .”
            “Mawar! Aku ingin menikahimu. Setelah 2 tahun kita bersahabat, aku rasa cukup mengenal kepribadianmu yang istimewa.” Kata Derry. “Aku ingin menemanimu sebagai mukhrim yang sah, seperti yang sering kau katakan itu.”
            “Entah dengan kalimat apa, harus aku sampaikan untuk mengucapkan terima kasih padamu. Jika niatmu tulus menikahiku, aku akan berbesar hati menerimanya.”
            “Benarkah? Sungguh aku merasa jadi laki-laki yang paling bahagia!”
            Mawar hanya memberikan senyuman kecil dari bibirnya yang merah tanpa polesan lipstick sedikit pun.

***TAMAT***

No comments:

Post a Comment